Ketua Umum Organisasi Team Libas Mengutuk Keras Perusahaan PT Sekar Bumi Alam Lestari Kabupaten Kampar Yang Melakukan PHK Tanpa Pesangon Terhadap Karyawan

Pekanbaru-Riau,- TeamLibas.com ] PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) adalah salah satu sumber penderitaan dan kemelaratan bagi pekerja yang mengalami PHK. Seperti halnya dialami saudari Murdiani Mendrofa yang telah mengabdi bekerja selama 14 thn dan memberi keuntungan kepada pihak perusahaan, namun apa jasa yang didapatkan justru PT. Sekar Bumi Alam Lestari melakukan PHK tanpa diberi hak apapun oleh perusahaan hanya gegara karyawan telah mengambil brondol busuk sebanyak 5 kg untuk menghidupkan api memasak makanan ternak.

Adapun pengakuan perusahaan PT Sekar Bumi Alam Lestari didepan mediator diruang mediasi Disnaker Provinsi Riau pada hari Kamis, 14/11/2024 bahwa nominal harga brondol kering yang diambil oleh Murdiani Mendrofa senilai Rp 15.000 (lima belas ribu rupiah) yang divonis bersalah oleh hakim Pengadilan Negeri Bangkinang pada tgl 8 Agustus 2024, dengan petikan keputusan nomor :232/Pid.C/2024/Pun Bkn. Berdasarkan pasal 373 KUH Pidana Penggelapan Ringan.

Kemudian perusahaan langsung melakukan PHK tanpa memberikan peringatan Sp 1,2 dan 3 sesuai prosedur hukum. Dimana pada tanggal 13 Agustus 2024, pihak perusahaan PT Sekar Bumi Alam Lestari mengeluarkan surat pemberitahuan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja tersebut bernomor : 121/M-KTK.2/SA/VIII/2024 tanpa mendapatkan hak apapun.

Alasan pihak perusahaan didalam surat pemutusan hubungan kerja yang dikeluarkan oleh perusahaan PT Sekar Bumi Alam Lestari terhadap karyawan atas nama Murdiani Mendrofa, terdapat alasan perusahaan sebagaimana tertulis pada poin (1), Menyatakan bahwa mengacu kepada undang-undang ketenagakerjaan No. 13/2003 pasal 158 ayat (1), Pengusaha dapat memuaskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh telah melakukan kesalahan pada poin (a)

Kalau PHK itu dengan mudah dilakukan, sama dengan artinya membuat banyak orang menderita. Hal ini diungkap oleh ketua umum Organisasi Light Independent Bersatu-Indonesia (Team Libas) Elwin Ndruru yang dikenal sebagai aktivis muda di provinsi Riau, Jumat, (15/11/24).

“Kalau PHK mudah dilakukan, maka para pengusaha akan semena-mena melakukan PHK dan dampaknya akan menimbulkan penderitaan bagi orang yang mengalami PHK dan keluargnya,” terangnya.

Elwin Ndruru selaku Ketua Umum Organisasi Team Libas (Light Independent Bersatu-Indonesia) mengutuk keras perusahaan PT Sekar Bumi Alam Lestari Kabupaten Kampar, dan membantah alasan perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja dengan mengacu pada Pasal 158 undang undang nomor 13/2003.

Menurutnya, alasan perusahaan tersebut tidak mendasar dan tidak sesuai prosedur hukum. Dimana menurut pandangan hukumnya Kata Elwin Ndruru, bahwa PHK karena Pelanggaran Berat diatur didalam Pasal 158. namun, kasus ini tidak masuk kategori pelanggan berat melainkan hanya pidana ringan, dibuktikan dalam surat putusan pengadilan dengan menyebutkan hanya ringan dan kerugian hanya sebesar Rp 15.000 (lima belas ribu rupiah).

“Perlu diketahui bahwa secara historis terkait ketentuan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan alasan pekerja melakukan kesalahan berat dulunya diatur melalui Pasal 158 ayat (1) Undang-undang Ketenagakerjaan 13/2003. Akan tetapi, kemudian Mahkamah Konstitusi membatalkan Pasal 158 Undang-undang Ketenagakerjaan tersebut melalui Putusan MK No. 012/PUU-1/2003 tanggal 28 Oktober 2004, dalam perkembangan, ketentuan Pasal 158 ayat (1) Undang-undang Ketenagakerjaan telah dihapus oleh Pasal 81 angka 50 Perppu Cipta Kerja. artinya, pasal 158 tidak berlaku lagi,”Jelas Elwin.

Hal senada juga disampaikan oleh penasehat hukum Dewan Pimpinan Pusat Organisasi Team Libas Adv. Frans Chaverius, S.H., M.H, dalam siaran persnya, setelah itu memang ada surat edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi mengeluarkan SE Menakertrans No. SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005. SE Menakertrans ini menegaskan bahwa jika pengusaha hendak melakukan PHK karena pekerja melakukan kesalahan berat, harus ada putusan hakim pidana yang berkekuatan hukum tetap terlebih dahulu. Sehingga, harus dibuktikan terlebih dulu kesalahannya melalui mekanisme peradilan pidana. Namun, kini ada ketentuan hukum dalam PP 35/2021 kembali mengatur aturan serupa, akan tetapi memakai istilah pekerja yang melakukan “pelanggaran bersifat mendesak” adapun pengusaha dapat mem-PHK pekerja karena melakukan pelanggaran bersifat mendesak yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB),” Kata Frans.

Menyikapi perkara tersebut, Ketua Umum Suara Serikat Buruh Nasional (Team Serbu) M. Ramli Zebua, kepada wartawan menyampaikan, Sengketa yang tidak dapat diselesaikan oleh kedua belah pihak berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK). Namun, Undang-undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 mengamanatkan setiap perusahaan untuk sedapat mungkin menghindari pemutusan hubungan kerja (PHK). Itu sebabnya, aturan pemerintah tentang mekanisme PHK karyawan lebih rumit ketimbang mekanisme mempekerjakan karyawan.

“Hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan sewajarnya ditandai dengan ditandatanganinya suatu Surat Perjanjian Kerja oleh kedua belah pihak. Hubungan yang dilakukan antara para pekerja dengan perusahaan ini adalah saling membutuhkan, dimana pekerja membutuhkan untuk mencari nafkah sedangkan perusahaan membutuhkan tenaga pekerja untuk menggerakkan perusahaan. Namun, tidak dipungkiri di pertengahan jalan terjadi permasalahan antara pengusaha dan pekerja dalam hubungan kerja tersebut, baik sederhana maupun kompleks, baik yang dapat diselesaikan secara kekeluargaan maupun jalur hukum”.

Ketua Umum Suara Serikat Buruh Nasional menegaskan, pengakhiran hubungan kerja biasanya atas keputusan perusahaan atau tempat karyawan bekerja karena suatu hal. Meskipun keputusan awal ada pada pemberi kerja, tetapi sebenarnya perusahaan juga tidak bisa tiba-tiba memutus hubungan kerja tanpa sebab maupun karena alasan pribadi. Seharusnya perusahaan saat mengambil keputusan PHK terhadap seorang karyawan, maka perusahaan juga harus bisa memenuhi kewajibannya atas hak yang harus diterima karyawan tersebut menurut Undang-undang Cipta Kerja, Tegas Ramli Zebua.

Tim