Berita  

Pajak Walet di Meranti: Target Miliaran, Realisasi Terjun Bebas — Indikasi Kebocoran PAD Menganga!

Teamlibas.com : MERANTI — Target selangit, realisasi jeblok! Begitulah potret kelam pengelolaan pajak sarang burung walet di Kabupaten Kepulauan Meranti. Di atas kertas, nilainya miliaran rupiah, tetapi di lapangan, hasilnya anjlok tajam. Data resmi Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) justru membuka fakta mencengangkan: potensi pajak walet yang mestinya jadi emas putih daerah, justru bocor tanpa arah.

Berdasarkan data yang dihimpun dari Bapenda Kepulauan Meranti, dua tahun terakhir menunjukkan tren anjlok yang mengkhawatirkan:

Tahun 2023
Target: Rp 2.000.000.000
Realisasi: Rp 1.200.432.000 atau hanya 60,02%
(Tarif pajak 0,75%, harga acuan Rp 8.000.000/kg, tonase 2.000,72 kg)

Tahun 2024
Target: Rp 18.800.000.000
Realisasi: Rp 553.882.000 atau hanya 2,95%
(Tarif pajak 0,10%, harga acuan Rp 8.000.000/kg, tonase 692,35 kg)

Angka tersebut bukan sekadar catatan buruk, melainkan indikasi kebocoran serius yang berpotensi merugikan keuangan daerah hingga miliaran rupiah. Bila benar, maka uang rakyat seolah mengalir keluar tanpa pertanggungjawaban.

Bapenda: “Sistem pelaporan berbasis self-assessment”

Kepala Bapenda Kepulauan Meranti, Agusyanto, S.Sos., M.Si, tidak menampik rendahnya realisasi pajak walet. Ia mengakui sistem pemungutan pajak sarang walet masih berbasis self-assessment, di mana pelaporan hasil panen sepenuhnya diserahkan kepada pengusaha walet.

“Kami terus meningkatkan pengawasan secara intensif di lapangan dan berkoordinasi dengan pihak Karantina. Ke depan, kami ingin sertifikat sanitasi hanya diterbitkan bagi pengusaha yang telah membayar pajak. Disinlah butuh terbangunnya kerjasama dengan Karantina,” ujarnya.

Bapenda juga berencana membentuk asosiasi pengusaha walet di Meranti untuk memperkuat komunikasi, koordinasi, serta mendorong peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Namun, langkah itu dinilai tidak cukup kuat, mengingat secara hukum, Pasal 97 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) sudah menegaskan:

“Kepala daerah wajib melakukan pendataan, penilaian, dan penetapan objek pajak secara independen.”

Sedangkan PP Nomor 55 Tahun 2016 Pasal 4 menambahkan:

“Pemungutan pajak daerah dilakukan berdasarkan data dan hasil pengawasan pemerintah daerah terhadap kegiatan wajib pajak.”

Artinya, Bapenda harus intens melakukan pemantauan dengan turun langsung melakukan pengawasan lapangan.

Karantina: “Semua Data Resmi dan Terintegrasi”

Kepala Wilayah Kerja Balai Karantina Tumbuhan dan Hewan Selatpanjang, drh. Muhammad Genta Indora, memastikan seluruh data karantina bersumber dari jalur resmi dan terintegrasi dengan Bapenda.

“Kami menyerahkan data setiap tiga bulan. Semua produk hewan, termasuk sarang walet, tercatat baik dari dalam maupun luar daerah,” jelas Genta.

Ia juga menegaskan bahwa pengusaha dari luar daerah yang mengurus sertifikat sanitasi di Meranti tidak menyalahi aturan, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 21 Tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan.

Namun, Genta mengungkap fakta mencengangkan:

“Tidak ada ekspor langsung dari Meranti ke luar negeri. Sebanyak 95 persen sarang walet dikirim ke luar negeri melalui Batam dan Daerah yang ada XPDC ke luar Negeri . Artinya, pajak ekspor tidak masuk ke Meranti.

”Fakta Lapangan: Potensi Emas yang Hilang

Dengan harga acuan Rp 8 juta per kilogram, seharusnya pajak dari sektor walet bisa menjadi sumber PAD paling menjanjikan bagi Meranti. Namun karena sistem distribusi dan sertifikasi berpindah ke Batam, pajak bernilai tinggi justru mengalir keluar daerah.

Kondisi ini diperparah oleh lemahnya koordinasi lintas instansi dan belum adanya sistem digital terintegrasi antara Bapenda, Karantina, dan Dinas Ketahanan Pangan. Akibatnya, pengawasan produksi dan penjualan sarang walet nyaris lumpuh.

Analisis: Celah Regulasi dan Lemahnya Pengawasan

Secara hukum, Pasal 2 ayat (2) huruf f UU Nomor 28 Tahun 2009 memberi wewenang penuh kepada pemerintah daerah untuk memungut pajak atas pengambilan dan penjualan sarang burung walet.

Namun lemahnya implementasi, kurangnya audit independen, dan minimnya transparansi membuka ruang lebar bagi manipulasi laporan produksi oleh oknum pengusaha. Dampaknya, PAD Meranti kehilangan potensi pendapatan miliaran rupiah setiap tahun.

Penutup: Saatnya Audit dan Penegakan Hukum

Kinerja pajak walet yang merosot bukan lagi sekadar masalah administrasi, tetapi indikasi kebocoran sistemik dalam tata kelola pajak daerah. Karena itu, sudah saatnya Pemerintah Kabupaten Kepulauan Meranti mengambil langkah konkret:

Audit menyeluruh terhadap rantai bisnis walet — mulai dari panen, pengeringan, hingga penjualan.

Revisi dan perkuat Perda Pajak Walet agar selaras dengan UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah.

Tindak tegas pengusaha nakal sesuai Pasal 97 ayat (4) UU 28/2009, dengan ancaman pidana dan denda hingga empat kali lipat pajak terutang.
Di tengah defisit APBD dan stagnasi pembangunan, sarang walet seharusnya menjadi emas putih Meranti — bukan sarang gelap bagi kebocoran pajak daerah.

Penulis: Tls Editor: Redaksi Tebas