Dalam sejumlah temuan, kebun sagu masyarakat terpetakan berada di kawasan hutan, wilayah konsesi perusahaan, hingga zona tertentu dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Situasi tersebut menimbulkan pertanyaan mengenai kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak masyarakat atas lahan mereka.
Secara regulasi, dasar hukum yang membingkai status kebun sagu masyarakat merujuk pada beberapa aturan perundang-undangan. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang telah diperbarui melalui UU Cipta Kerja, mengatur pembagian ruang ke dalam zona budidaya, permukiman, kawasan lindung, hingga kawasan hutan. Jika kebun masyarakat berada pada zona kawasan hutan atau peruntukan lainnya, maka ketentuan sektoral harus menjadi acuan pengelolaan.
Untuk kebun yang terpetakan sebagai kawasan hutan—baik Hutan Produksi (HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT), Hutan Lindung (HL), maupun Hutan Penggunaan Lain (HPL)—pengelolaan mengacu pada UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Masyarakat tetap dapat memperoleh akses kelola melalui skema Perhutanan Sosial, seperti Hutan Adat, Hutan Desa, atau Hutan Kemasyarakatan (HKm), yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri LHK Nomor P.83/2016.
Sementara itu, jika kebun sagu berada dalam wilayah konsesi perusahaan seperti Hak Guna Usaha (HGU) atau konsesi perkebunan dan kehutanan, maka regulasi mengacu pada UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan serta aturan pertanahan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Dalam kasus tumpang tindih, penyelesaian dapat ditempuh melalui mekanisme enklave, kemitraan, maupun penyelesaian konflik agraria secara formal.
Selain itu, UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan kewenangan kepada pemerintah desa dalam menetapkan batas dan wilayah administrasi, termasuk lahan masyarakat. Jika kebun sagu berada dalam wilayah adat, perlindungan hukumnya mengacu pada UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) yang mengakui keberadaan hak ulayat. Penetapan tanah atau hutan adat dapat dilakukan melalui peraturan daerah.
Di sisi lain, seluruh penetapan peta wilayah wajib merujuk pada standar resmi Badan Informasi Geospasial (BIG) sebagaimana diamanatkan UU Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial. Apabila terdapat perbedaan antara peta pemerintah dan peta perusahaan, maka peta pemerintah menjadi rujukan utama.
Sejumlah pakar menilai harmonisasi peta dan regulasi menjadi kunci untuk mencegah konflik lahan akibat tumpang tindih penguasaan. Kepastian legalitas kebun sagu dianggap krusial mengingat komoditas ini menjadi sumber ekonomi utama bagi banyak desa, terutama di wilayah pesisir dan komunitas adat.
Kabupaten Kepulauan Meranti dikenal sebagai penghasil sagu terbesar kedua di Indonesia hingga dijuluki “Kota Sagu”. Namun, di balik potensi besar itu, muncul pertanyaan mengenai sejauh mana regulasi dan konstitusi memberi ruang bagi pemerintah daerah dalam melindungi lahan sagu masyarakat.
Hingga kini, pemerintah pusat maupun daerah terus didorong untuk mempercepat pembaruan basis data peta wilayah agar keberadaan kebun sagu masyarakat mendapatkan pengakuan legal yang jelas. Langkah ini diharapkan mampu mencegah sengketa serta memberikan kepastian bagi masyarakat yang menggantungkan hidup dari komoditas sagu.













