yang dipersoalkan bukan hanya kelompok itu sendiri, melainkan struktur kepengurusannya. Ketua kelompok berinisial IF, yang diketahui merupakan anak Sekretaris Desa, mengakui bahwa jabatan bendahara dipegang Kepala Dusun aktif berinisial BY, sementara posisi sekretaris diisi RW aktif berinisial HN. Komposisi ini memicu reaksi keras warga yang menilai kelompok tersebut dikuasai lingkar kekuasaan desa.
yang dipermasalahkan warga adalah proses pembentukan kelompok yang disebut dilakukan secara diam-diam, tanpa sosialisasi, tanpa musyawarah desa, tanpa pelibatan RT, dan tanpa persetujuan terbuka masyarakat. Kondisi ini dinilai mencederai prinsip partisipasi publik dalam pengelolaan sumber daya desa.
polemik ini terjadi, yakni di Desa Tanjung Padang, wilayah dengan potensi mangrove besar yang menjadi sasaran program restorasi lingkungan. Kapan persoalan mencuat, yakni setelah terbitnya Surat Keputusan (SK) kelompok pada tahun 2024, yang berarti usia kelompok belum genap dua tahun, namun sudah mengelola program bernilai strategis dan berpotensi anggaran besar.
warga bereaksi keras, karena selain proses yang tertutup, kesiapan lahan mangrove dinilai tidak sesuai klaim program. Warga menyebut lahan belum dirintis, belum dibersihkan, dan belum layak tanam, sehingga menimbulkan dugaan kuat bahwa pembentukan kelompok lebih berorientasi pada akses program dibanding kesiapan teknis di lapangan.
Kecurigaan publik kian menguat setelah beredar informasi bahwa potensi lahan mangrove desa mencapai lebih dari 100 hektare, dengan dukungan anggaran yang disebut-sebut bernilai signifikan. Di sisi lain, bantuan dari Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) diduga melibatkan peran kepala desa dalam pengadaan atau distribusi bibit, yang oleh warga dinilai rawan konflik kepentingan.
tanggapan pihak kelompok? Ketua kelompok IF menyatakan pembentukan kelompok telah dikoordinasikan dengan pendamping desa dan koordinator lapangan. Ia menegaskan tidak ada larangan perangkat desa menjadi pengurus kelompok. “Yang dilarang itu hanya TNI, Polri, dan PNS,” ujarnya.
Namun pernyataan tersebut dinilai bertolak belakang dengan regulasi yang berlaku. Dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa serta PP Nomor 47 Tahun 2015, perangkat desa dilarang terlibat dalam kegiatan atau organisasi yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Jabatan bendahara yang mengelola keuangan kelompok dinilai berada pada titik paling rawan.
Persoalan semakin keruh akibat perbedaan data luas lahan. IF menyebut kelompoknya hanya mengelola 23 hektare dengan 35 anggota, sementara informasi masyarakat menyebut Dusun I sekitar 71 hektare dan Dusun III sekitar 25 hektare. Ketidaksinkronan data ini memicu dugaan lemahnya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan program.
Sejumlah pihak menilai pembiaran terhadap struktur kepengurusan semacam ini berpotensi menjadi preseden buruk tata kelola desa dan membuka ruang praktik Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme (KKN) dalam program lingkungan hidup yang seharusnya berpihak pada kepentingan publik, bukan elit desa.
Hingga berita ini diterbitkan, pemerintah desa dan instansi terkait belum memberikan pernyataan resmi terkait evaluasi atau langkah korektif atas pembentukan dan kepengurusan Kelompok Mangrove Pemuda Hijau Nusantara. Media ini masih terus membuka ruang konfirmasi untuk menjaga prinsip keberimbangan.
Catatan Redaksi:
Media ini menjunjung tinggi prinsip independensi, keberimbangan, dan tanggung jawab sosial pers. Hak jawab dan klarifikasi terbuka bagi seluruh pihak terkait sesuai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.













