TeamLibas.com ] Pekanbaru Riau,-Tidak adanya penegasan dan sanksi tegas terhadap perusahaan yang melanggar hukum berpotensi membuat pelaksanaan cuti haid bersifat opsional dimata pengusaha. Akibatnya, sebagian besar perusahaan diprovinsi Riau ditemukan tidak memberikan hak cuti haid kepada pekerja perempuan, seperti dilakukan oleh PT. Musim Mas Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau yang tidak memberikan hak cuti haid bagi pekerja perempuan.
Seperti diungkap Elwin Ndruru, sekjend Dpp Suara Serikat Buruh Nasional (Team SEBU) kepada media, bahwa pihaknya menemukan beberapa perusahaan yang ada diprovinsi riau yang tidak taat aturan hukum yang berlaku, seperti PHK sepihak tanpa diberi pesangon, hak cuti haid bagi perempuan tidak diberikan, upah tidak sesuai, fasilias alat kerja tidak diberikan dan tempat tinggal tidak layak. (27/03/25)
Salah satu diantaranya perusahan PT. Musim Mas Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau yang ditemukan tabrak undang-undang ketenagakerjaan dan mengabaikan beberapa peraturan pemerintah lainnya bahkan melanggar Hak Azasi Manusia (HAM).
“Saya menduga PT. Musim Mas ini merasa kebal hukum karenna selama ini kurang diawasi oleh pemerintah sehingga mengabaikan undang-undang dan berbuat sesuka hati, dengan secara sewenang-wenang memperlakukan pekerja itu tidak adil sehingga para pekerja dalam perusahaan PT. Musim Mas jauh dari kesejahteraan khususnya hak pekerja perempuan. Kita prihatin dimana selama ini seluruh karyawan PT. Musim Mas keluhkan hak cuti haid bagi pekerja perempuan yang dihilangkan oleh managemen PT. Musim Mas sejak tahun 2023, hal ini sudah kita laporkan secara resmi kepada pengawasan Disnakertrans Provinsi Riau dan proses hukumnya sedang berlangsung saat ini. Selain itu, beberapa kasus PHK sepihak juga telah kita proses dan satu diantaranya telah kita ajukan gugatan PHI di pengadilan negeri Pekanbaru,” ungkap Elwin.
Lebih lanjut Elwin menegaskan, bahwa pemerintah perlu memperkuat fungsi pengawasan ketenagakerjaan, memberikan sanksi tegas bagi perusahaan yang melanggar, serta meningkatkan edukasi dan sosialisasi kepada pekerja dan pengusaha mengenai pentingnya hak ini.
Menurutnya, negara (pemerintah) melalui konstitusinya merupaka penguasa yang paling tinggi dan dominan, konstitusi tersebut selanjutnya melahirkan undang-undang untuk diimpementasikan kepada warga negara. Negara bertindak sebagai wasit dalam situasi penegakan norma yang ditetapkannya, serta dapat memastikan hak dan kewajiban warga negara telah sesuai dengan garis kebjikan yang dibuatnya, dengan begitu tidak boleh ada keragu-raguan bagi pemerintah sebagai organisasi tertinggi melalui prinsip konstitusi memastikan bahwa kebijakan dan regulasi yang dibuatkan harus dapat dilaksanakan.
“Pemerintah melalui kementerian ketenagakerjaan (dinas ketenagakerjaan, serikat buruh dan elemen ketenagakerjaan yang lainnya) wajib memastikan bahwa perusahaan, pengusaha/pemberi kerja membuat dan menyatakan hak cuti haid bagi pekerja perempuan dituangkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama,” Pemerintah sebagai regulator dan sebagai organisasi tertinggi dalam sebuah negara wajib memastikan organ/lembaga yang ada didalam negara mengikuti regulasi yang telah ditetapkan, dalam hal ini memastikan bahwa pengusaha/pemberi kerja melaksanakan perintah pasal 81 ayat (1) UU Ketenagakerjaan dengan cara mewujudkan pelaksanaan hak cuti hak bagi pekerja perempuan yang dituangkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Cuti haid juga tidak dapat dilepaskan dari komitmen Indonesia terhadap prinsip non-diskriminasi, sebagaimana diatur dalam CEDAW Convention dan konvensi internasional lainnya yang telah diratifikasi Indonesia. Negara memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa hak cuti haid dihormati dan dilaksanakan secara merata di seluruh sektor pekerjaan.
Perusahaan seharusnya menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan mendukung kesehatan fisik maupun mental pekerjanya, pekerja perempuan juga perlu didorong untuk lebih memahami hak-hak mereka. Harmonisasi antara regulasi yang jelas, pengawasan pemerintah yang kuat, dan budaya kerja yang suportif akan menjadi kunci agar hak cuti haid benar-benar dapat dinikmati oleh seluruh pekerja perempuan di Indonesia.
Haid atau menstruasi adalah proses alami yang dialami perempuan, namun gejalanya sangat menganggu untuk beraktivitas. Nyeri hebat pada perut bagian bawah, nyeri di bagian pinggul, punggung bawah hingga paha bagian dalam, merupakan gejala-gejala yang sering dialami oleh perempuan pada saat haid. Selain itu, gejala lainnya seperti sakit kepala, mual, hingga diare juga kerap terjadi. Banyak pekerja perempuan tidak mengetahui bahwa mereka memiliki hak untuk mengambil cuti saat mengalami haid, terutama pada hari pertama dan kedua.
Di sisi lain, sejumlah perusahaan di Indonesia masih belum sepenuhnya menerapkan aturan ini, meski sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Akibatnya, hak cuti haid seringkali dianggap ada di atas kertas, namun tidak dirasakan secara nyata oleh banyak pekerja perempuan.
ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan yang sudah mengatur hak cuti haid, tepatnya dalam Pasal 81 ayat 1 yang berbunyi yang berbunyi: “(1) Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.” Meski begitu, fakta di lapangan menunjukkan bahwa implementasi hak ini masih jauh dari ideal.
Salah seorang karyawan PT. Musim Mas yang tidak ingin disebut namanya dan meminta kepada media ini untuk merahasiakan identitasnya karena adanya tekanan dari pihak managemen perusahaan, bahkan acaman PHK sepihak tanpa diberi pesangon, ia berharap agar pemerinta dapat memperhatikan hak cuti haid bagi kaum perempuan yang ada didalam perusahaan PT. Musim Mas.
“Haid menyebabkan banyak perubahan dalam tubuh perempuan, termasuk perubahan hormonal dan kesehatan fisik. saat haid, perempuan mengalami gangguan fisik seperti kram, nyeri, bahkan sampai pingsan atau dismenore, nyeri perut bagian bawah yang terkadang rasa nyeri tersebut meluas hingga ke pinggang, punggung bagian bawah dan paha yang terjadi dalam periode menstruasi. Rasa sakit yang kerap dialami ini tak ayal mengganggu aktivitas perempuan, utamanya saat bekerja”.
Menanggapi hal tersebut, penasehat hukum Dpp Suara Serikat Buruh Nasional Frans Chaverius Tampubolon, S.H.,M.H mengatakan, “Padahal ini ada dasar hukumnya, termasuk dalam UU no 7 tahun 1984 tentang kesehatan seksual reproduksi yang mengatur cuti ini termasuk dalam HAM, UU no 11 tahun 2005 tentang konvensi sosial budaya, Cedaw Convention tentang penghapusan diskriminasi pada perempuan,” tidak sedikit pula perempuan yang merasa khawatir tidak bisa memenuhi target produktivitas yang ditentukan perusahaan jika mereka mengambil cuti datang bulan. Selain itu menurutnya, masih kurangnya sosialisasi dari pemerintah dan perusahaan tentang masalah ini.
Hal yang sama juga ditambahkan Ramli Zebua selaku Ketua Umum Dpp Suara Serikat Buruh Nasional (Team SERBU), “Negara harus mengawasi pelaksanaan cuti haid, jangan dipersulit, jangan dihalang-halangi. Negara yaitu pemerintah, juga harus melakukan kewajibannya, sosialisasi cuti haid ini sampai semua lapisan tahu”.
Ramli menegaskan, perusahaan harus menghormati hak ini, bahwa pemberian cuti haid pertama dan haid kedua bagi pekerja perempuan tidak boleh dihalangi, apalagi sampai dilarang. Sebab haid itu terkait dengan kesehatan fisik, reproduksi yang juga berimbas pada kesehatan mental pekerja perempuan. Apabila perusahaan melanggar, Pasal 186 UU Ketenagakerjaan mengatur sanksi pidana berupa penjara minimal 1 (satu) bulan hingga maksimal 4 (empat) tahun dan/ atau denda mulai Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (Empat ratus juta rupiah) tegas Ramli Zebua, Ketua Umum Suara Serikat Buruh Nasional.
Redaksi