Teamlibas.com — Rentetan konflik ketenagakerjaan antara PT Indomarco Adi Prima dan karyawannya, Alfian Efendi Lutfi, memasuki babak baru. Pada perundingan ketiga yang berlangsung 29 Oktober 2025, Serikat pekerja dan mediator resmi memprotes aturan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) perusahaan yang dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
Salah satu sorotan utama adalah aturan dalam PKB yang menyebutkan bahwa pekerja yang di PHK dengan alasan mendesak tidak menerima hak-hak sama sekali, termasuk upah dan jaminan sosial. Ketentuan ini dinilai tidak memiliki dasar hukum.
Rapat mediasi dihadiri Alfian Efendi Lutfi, perwakilan Serikat Pekerja Buruh Indonesia (SPB-I) FSP Team Suara Serikat Buruh (SERBU) Nasional, Mediator Disnaker Ejani Gospelina Siahaan, S.Sos., M.M, dan Abdul Gani.
Klaim Pesangon Sepihak: Hanya Satu Bulan Setelah Lima Tahun
Sales Manager PT Indomarco Adi Prima, Purwoto, menyampaikan bahwa pekerja baru berhak atas pesangon apabila sudah bekerja minimal lima tahun, dengan besaran satu bulan upah.
“Pasangon bisa diberikan dengan syarat Pekerjanya itu sudah bekerja selama 5 tahun, dibayar 1 bulan upah,” ujarnya.
Pernyataan ini membuat mediator terkejut.
Mediator Ejani Gospelina Siahaan menegaskan bahwa ketentuan pesangon adalah aturan nasional, bukan kebijakan perusahaan.
“Pasangon itu sudah Aturan umum bukan aturan perusahaan ataupun serikat,” tegasnya.
Saat diminta menjelaskan dasar regulasi perusahaan, Purwoto tidak memberikan jawaban baik secara lisan maupun tertulis. Hingga saat ini, perusahaan juga belum mengeluarkan surat resmi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada Alfian.
PHK Dengan Alasan Mendesak Tidak Mendapat Hak Apapun
Dalam PKB disebutkan pekerja yang di PHK dengan alasan yang mendesak tidak mendapatkan hak apa pun. Hal ini dinilai bertentangan dengan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan PP No. 35 Tahun 2021, yang mewajibkan pengusaha tetap membayar hak-hak pekerja hingga ada putusan pengadilan.
Alfian dinilai melakukan pelanggaran karena diduga tidak menyetor uang perusahaan ke bank. Namun ia membantah tegas.
“Menurutnya bahwa sudah dilakukan Penyetoran si ATM Bank namun beberapa struk tidak keluar dari mesin ATM tersebut,” tegas Alfian.
Menurut mediator, bahkan uang pisah pun tidak tercantum dalam PKB Indomarco.
“Kalau dari Dinas Ketenagakerjaan, Uang Pisah diwajibkan untuk diberikan apapun pelanggarannya,” tegas Ejani.
Serikat pekerja pun mengecam ketentuan tersebut.
“Aturan ini tidak berpihak pada Pekerja, hanya kepentingan Perusahaan dan Serikat saja yang diutamakan, kita minta agar aturan tersebut segera diubah, UU ketenagakerjaan itu lebih tinggi kedudukannya daripada PKB itu sendiri,” ucap Yutel dalam ruang mediasi.
Mediator kemudian memberikan waktu satu minggu kepada pihak perusahaan untuk menyelesaikan dengan pekerja, namun jika tak kunjung selesai pihaknya menyampaikan akan menerbitkan Surat Anjuran karena tidak tercapai kesepakatan.
Ditetapkan Tersangka Setelah Mediasi
Sehari setelah mediasi, kasus semakin panas. Pada 30 Oktober 2025, Alfian resmi ditetapkan sebagai tersangka oleh Polsek Lubuk Baja atas dugaan penggelapan dalam jabatan dengan nomor perkara S.Tap.Tsk/49/X/RES.1.11./2025/Reskrim.
Alfian menegaskan dirinya tidak bersalah dan kooperatif sejak awal.
“Saya tidak menggelapkan uang itu, kalau saya gelapkan saya dah kaburlah dan tidak setor uang itu dulu. Hanya beberapa struk tidak keluar dari Mesin ATM tersebut sehingga saya dilaporkan oleh Sales Manager,” ujarnya.
Ia juga mengaku tekanan dialami sejak awal kasus.
“Motor saya dulu pun ditahan selama sebulan sampai rusak, saya dipaksa untuk menitipkan barang saya sebagai Jaminan,” tambahnya.
Kasus ini kini menjadi perhatian publik, terutama karena dugaan pelanggaran PKB, skorsing tanpa hak, hingga kriminalisasi pekerja. Semua mata kini tertuju pada langkah mediator dan proses penyidikan kepolisian.
Apabila dugaan pelanggaran PKB dan UU Ketenagakerjaan terbukti, perusahaan dapat menghadapi konsekuensi hukum serius.













